Secara harfiah arti dari pariwisata belum banyak diungkapkan oleh para ahli bahasa dan periwisata Indonesia, yang jelas kata pariwisata berasal dari dua suku kata yaitu pari dan wisata. Pari berarti banyak, berkali-kali dan berputar-putar sedangkan wisata berarti perjalanan atau bepergian. Jadi pariwisata berarti perjalanan atau bepergian yang dilakukan secara berkali-kali atau berkeliling. Pariwisata adalah pedoman bahasa Indonesia untuk istilah tourism dalam bahasa Inggris.
Menurut Hunziker dan Kraft (1965) mendefinisikan pariwisata sebagai berikut:
‘’the totality of relatonship and pnomena arasing from the trafel and stay of strogers, provided the stay does not empity the establisment permant residence and isnnot conneeted with a remunerated activy’’
Pariwisata yang dikembangkan oleh pemerintah dewasa ini adalah pariwisata budaya, hal ini berarti bahwa keanekaragaman budaya indonesia menjadi modal dasar bagi pengembangan pariwisata. Dalam hal ini sebagaimana budaya masyarakat indonesia yang memiliki seni-seni tradisional yang harus dirawat dan dipelihara pelestariannya, karena selama ini pariwisata dilihat dari segi keuntungan materialnya saja. Dan pariwisata dikatakan sebagai pengahasilan devisa dan prospektif yang harus dikembangkan sebagai suatu industri pariwisata dalam hal ini budaya mempunyai peranan penting dalam mengembangkan pariwisata baik pengembangan pariwisata secara nasional maupun secara lokal.
Seperti halnya pengembangan pariwisata pantai Lawata tidak terlepas dari peranan budaya masyarakat Bima itu sendiri, budaya mempunyai peranan penting dalam meningkatkan mutu pariwisata pantai Lawata, Kalaki, dan pantai Ule. Semua ini tidak terlepas dari peranan budaya masyarakat Bima. Selain budaya juga masyarakat disekitar tempat wisata ikut berpartisipasi dalam mengembangkan pariwisata khususnya pariwisata pantai Lawata Desa Kalaki Kecamatan Rasa Na’e timur khususnya. Jadi dalam pengembangan tempat wisatai, dalam hal ini antara pariwisata dan budaya mempunyai hubungan timbal balik dalam mewujudkan kembali kharisma budaya yang hampir punah, . Oleh sebab itu adanya pariwisata pantai Lawata merupakan suatu rahmat yang bisa menghidup atau mengeksiskan kembali budaya masyarakat bima yang hampir punah. Budaya merupakan ciri khas pada pengelolaan pariwisata dalam meningkatkan suatu keuntungan dari wisatawan yang datang, baik wisatawan berskala nasional maupun internasional, karena budaya merupakan daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung dan sekaligus menikmati nilai-nilai budaya masyarakat bima pada umumnya.
Hal-hal di atas merupakan keharusan dalam berbagai macam aktifitas masyarakat Bima dalam menggeruk suatu keuntungan bersifat material, dan hanya sementara saja dalam hal ini merupakan kesejahteraan bagi masyarakat Bima dalam meningkatkan nilai-nilai tradisional budaya dan meningkatkan kebutuhan masyarakat setempat. Akan tetapi ada hal-hal yang lain yang bisa membahayakan pada kehidupan masyarakat Bima dan menghambat pengembangan pariwisata pantai Lawata di kota Bima.
Sebagaimana kita ketahui dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Bima yang terikat dengan normal-normal agama dan normal hukum, baik hukum perdata maupun hukum adat, yang mengatur kehidupan sosial masyarakat Bima.Sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat Bima sekarang telah menandakan suatu perubahan yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari dengan seiring berkembangnya pariwisata pantai Lawata sebagai tempat kunjungan wisatawan asing.
Hal-hal yang mengahambat berkembangnya pariwisata pantai Lawata dikarenakan dengan adanya beberapa faktor:
1. Terjadinya penyimpangan sosial pada masyarakat Bima itu sendiri karena banyak masyarakat Bima di marjinalkan demi kepentingan segelintir orang yang mengeruk keuntugan sebanyak-banyaknya.
2. Adanya gejala pengikisan nilai-nilai budaya masyarakat yang menyebabkan pengembangan pariwisata itu sendiri.
3. Kurangnya perhatian pemerintah dalam membangun pariwaisata pantai Lawata dan kurangnya partisipasi masyarakat setempat untuk mengembangkan budaya dalam meningkatkan pembangunan dalam sektor pariwisata pantai Lawata.
Sesuai dengan perkembangan pariwisata sebagai tempat kunjungan bagi wisatawan asing yang mempunyai tujuan untuk mengetahui kearifan budaya lokal an peninggalan-peninggalan sejarah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Dengan kehadiran wisatawan asing dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat Bima baik secara sosial budaya maupun secara ekonomi.
Sehubungan dengan perkembangan jaman dan masuknya modernisasi dan globalisasi yang menuntut masyarakat berbagai corak kehidupan yang serba modern baik yang merubah struktur sosial masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan yang sifatnya tradisional baik berupa sosial budaya maupun ekonomi. Sebagaimana kita ketahui pola kehidupan masyarakat yang mempunyai sosial yang tinggi dan beragam kebudayaan sebagai identitas masyarakat Bima.
Dulu masyarakat Bima yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan seperti gotong royong adalah suatu bentuk kebersamaan dalam lingkungan sosial masyarakat itu sendiri, adapun kebiasaan-kebiasaan masyarakat Bima yang selalu mewujudkan nilai-nilai budaya melalui atraksi-atraksi di atas pentas, seperti kantao (silat), ntumbu tuta(adu kepala), sarimpu,dan mendramisirkan nilai-nilai maja lambo dahu sebagai budaya yang mempunyai nilai pendidikan yang dianggap bermoral pada masyarakat Bima dan masih melekat sampai sekarang sebagai semboyan yang di agung-agungkan oleh masyarakat Bima pada umumnya. Antraksi budaya di atas merupakan antraksi untuk memperingati hari-hari besar, seperti hari besar agama Islam hari jadinya kota Bima, hari sumpah pemuda, dan memperingati hari kemerdekaan Indonesia.
Akan tetapi seiring berkembangnya pariwisata di daerah kota Bima, hal semacam itu kini tidak adalagi. Atraksi budaya tersebut hanya di wujudkan di tempat-tempat pariwisata dan di tunjukan pada wisatawan yang berkunjung. Hal semacam ini bisa menimbulkan dampak negatif yang bisa merubah kehidupan masyarakat Bima khususnya masyarakat yang ada ditempat pariwisata pantai Lawata tersebut.
Pantai Lawata sebagai tempat rekreasi dan sebagai tempat kunjungan wisatawan asing dari berbagai mancanegara dapat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Bima. Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang sosiologi belum banyak yang mengarah pada arah yang positif, sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat dan berkembangnya pariwisata pantai Lawata, masyarakat Bima terlihat bebas bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain bahkan pergaulan secara bebas yang sama sekali berbeda ras, budaya, dan agama dari berbagai macam wisatawan yang berkunjung di tempat pariwisata pantai Lawata tersebut. Yang memiliki kebiasaan, tingkah laku, dan keinginana yang berbeda yang bertolak belakang dengan tatacara kehidupan masyarakat Bima.
Pembangunan pariwisata pantai Lawata Bima yang dikelolah secara besar-besaran oleh pemerintahan kota Bima itu merupakan gejala-gejala sosial budaya baru yang melanda bersama meningkatnyan intesitas ekonomi pasar secara keseluruhan wilayah Indonesia dan khususnya daerah kota Bima. Walaupun pada dasarnya pariwisata merupakan untuk mendapat pengalaman budaya dan ekonomi yang menjadi kebiasaan masyarakt Bima, namun perjalanan itu yang sudah terorganisir, pelayanan komersial, baik komersial terhadap sosial budaya sosial ekonomi, bahkan agamapun didalam ritualnya di jadikan tempat komersial. Hal ini merupakan gejala baru terhadap masyarakat Bima oleh sebab itu tidak banyak masyarakat Bima untuk mengambil keuntugan secara nyata dan berkelanjutan. Ali-ali yang menikmati peluang yang terbuka, justru ada kecemburuan sosial masyarakat yang ada didaerah pantai Lawata. Dan sebaliknya hanya sekelompok masyarakat yang telah siap secara sosial budaya dengan mudah memanfaatkan peluang dan memiliki keuntugan material secara berlebihan.
Berbagai gejalah sosial budaya yang di miliki dapat menimbulkan reaksi sebagai masyarakat yang menjurus kearah tindakan kriminal yang seharusnya tidak di harapkan dan ada kesenjangan dalam kemampuan dan memanfaatkan peluang usaha, hal ini akan menumbulkan kecemburuan sosial pada akhirnya terjadi pertentangan yang kurang mendukung perkembangan periwisata pantai Lawata di daerah kota Bima.
Memperhatikan akibat-akibat kedatangan wisatawan itu wajarlah kalau perencanaan pariwisata dan pengambilan yang dapat menghayati situasi yang cukup ramai dan kompleks, sesuai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, meningkatnya pembangunan dan majunya pariwisata pantai Lawata hendaknya jangan sampai membuat seni budaya masyarakat kita menderita yang lama kelamaan dapat menghilangkan identitas dan citra bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bima pada khususnya.
Berbagai masalah sosioal budaya telah banyak dampak negatif dengan adanya pariwisata, seperti merosotnya kualitas seni budaya, merosotnya ahklak dan moral masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bima khususnya.
Fenomena-fenomena di atas sudah mendapat perhatian presiden Suharto tiga puluh tahun yang lalu waktu meresmikan Nusa Dua Beach hotel di Bali tanggal 28 mei 1983 presiden mengatakan dalam sambitanya sebagai berikut.
‘’...keinginan untuk memperoleh devisa dari industri pariwisata jangan sampai hendasknya merusak kebudayaan, seperti kita ketahui sebagai suatu industri mempunyai dampak yang lebih luas pengaruhnya tidak hanya pada perekonomian didaerah tempat wisata (DTW) tetapi menyentuh semua aspek kehidupan dalam masyarakat yang dampaknya sering berkaitan satu sama lain.
Selanjunta disampaikan oleh presiden jika tujuan pengembangan pariwisata untuk menunjang kokohnya pembangunan nasional maka perlu dijaga agar datangnya wisatawan asing itu tidak menggoyahkan nilai-nilai kita anggap luhur dan terpelihara kebudayaan kita.
Apa yang disampaikan oleh bapak presiden Suharto di atas penulis dapat nenyimpulkan bahwa kegiatan kepariwisataan itu perlu mendapatkan devisa yang tinggi. Tetapi wajib kita menjaga kelestarian budaya kita yang sudah di ciptakan oleh masyarakat terdahulu, jangan sampai kebudayaan kita hilang oleh pengaruh budaya Barat. Jangan sampai kita terkecok dengan budaya-budaya baru yang akan menghilangkan budaya tradisional kita sebagai identitas masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya masyarakat Bima.
Meskipun pariwisata sebagai devisa yang besar dalam rangka pembangunan nasional ataupun pembangunan daerah. Akan tetapi pemerintahan kota Bima harus meninjau kembali berbagai macam ancaman atau dampak terhadap itu sendiri yang mengakibatkan terjadinya perubahan tatanan sosial masyarakat yang selalu terikat dengan adat istiadat dan berjiwa sosial dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Bima adalah masyarakat yang selalu manjaga nilai-nilai moral dalam semboyangnya masyarakat Bima adalah maja lambo dahu (malu dan takut), semboyan ini merupakan budaya Bima dalam menjaga ahlak dan moral yang tinggi. Budaya seperti ini harus di pertahankan jangan sampai tergoyah dengan budaya asing yang penuh dengan kebebasan
kawan, karena kita sudah mulai memasuki mata kuliah softskill akan lebih baik jika blog ini disisipkan link Universitas Gunadarma yaitu www.gunadarma.ac.id yang merupakan identitas kita sebagai mahasiswa di Universitas Gunadarma juga sebagai salah satu kriteria penilaian mata kuliah soft skill.. terima kasih :)
BalasHapusokey kaka, saya akan cantumin..
BalasHapus